Sungguh, malam ketiga di Pangkalan Punai aku bermimpi
melihat surga
Ternyata surga tidak megah, hanya sebuah istana kecil di
tengah hutan
Tidak ada bidadari seperti disebut di kitab-kitab suci
Aku meniti jembatan kecil
Seorang wanita berwajah jernih menyambutku
“Inilah surga” katanya.
Ia tersenyum, kerling matanya mengajakku menengadah
Seketika aku terkesiap oleh pantulan matahari senja
Menyirami kubah-kubah istana
mengapa matahari berwarna perak, jingga, dan biru?
Sebuah keindahan yang asing
Di istana surga
Dahan-dahan pohon ara menjalar kedalam kamar-kamar sunyi
yang bertingkat-tingkat
Gelas-gelas Kristal berdenting dialiri air zamzam
Menebarkan rasa kesejukan
Bunga petunia ditanam dalam pot-pot kayu
Pot-pot itu digantungkan pada kosen-kosen jendela tua
berwarna biru
Di beranda, lampu-lampu kecil disembunyikan di balik tilam,
indah sekali
Sinarnya memancarkan kedamaian
Tembus membelah perdu-perdu di halaman
Surga begitu sepi
Tapi aku ingin tetap di sini
Karena kuingat janjiMu Tuhan
Kalau aku datang dengan berjalan
Engkau akan menjemputku dengan berlari-lari
Andrea Hirata
Laskar Pelangi, 181/182.
No comments:
Post a Comment